I. KEARIFAN LOKAL SEBAGAI ASET BUDAYA BANGSA
Dari sisi etnis dan budaya daerah sejatinya menunjuk kepada
karaktreristik masing-masing keragaman bangsa Indonesia. Pada sisi yang lain,
karakteristik itu mengandung nilai-nilai luhur memiliki sumber daya kearifan,
di mana pada masa-masa lalu merupakan sumber nilai dan inspirasi dalam strategi
memenuhi kebutuhan hidup, mempertahankan diri dan merajut kesejehteraan
kehidupan mereka. Artinya masing-masing etnis itu memiliki kearifan lokal
sendiri, seperti etnis Lampung yang dikenal terbuka menerima etnis lain sebagai
saudara (adat muari, angkon), etnis Batak juga terbuka, Jawa terkenal dengan
tata-krama dan perilaku yang lembut, etnis Madura dan Bugis memiliki harga diri
yang tinggi, dan etnis Cina terkenal dengan keuletannya dalam usaha. Demikian
juga etnis-etnis lain seperti, Minang, Aceh, Sunda, Toraja, Sasak, Nias, juga
memiliki budaya dan pedoman hidup masing yang khas sesuai dengan keyakinan dan
tuntutan hidup mereka dalam upaya mencapai kesejehtaraan berasma. Beberapa
nilai dan bentuk kearifan lokal, termasuk hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan
yang ada sebagian bahkan sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses
pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Kearifan lokal itu mengandung kebaikan bagi kehidupan
mereka, sehingga prinsip ini mentradisi dan melekat kuat pada kehidupan masyarakat
setempat. Meskipun ada perbedaan karakter dan intensitas hubungan sosial
budayanya, tapi dalam jangka yang lama mereka terikat dalam persamaan visi
dalam menciptakan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera bersama. Dalam
bingkai kearifan lokal ini, antar individu, antar kelompok masyarakat saling
melengkapi, bersatu dan berinteraksi dengan memelihara nilai dan norma sosial
yang berlaku.
Keanekaragaman budaya daerah tersebut merupakan potensi
sosial yang dapat membentuk karakter dan citra budaya tersendiri pada
masing-masing daerah, serta merupakan bagian penting bagi pembentukan citra dan
identitas budaya suatu daerah. Di samping itu, keanekaragaman merupakan
kekayaan intelektual dan kultural sebagai bagian dari warisan budaya yang perlu
dilestarikan. Seiring dengan peningkatan teknologi dan transformasi budaya ke
arah kehidupan modern serta pengaruh globalisasi, warisan budaya dan
nilai-nilai tradisional masyarakat adat tersebut menghadapi tantangan terhadap
eksistensinya. Hal ini perlu dicermati karena warisan budaya dan nilai-nilai
tradisional tersebut mengandung banyak kearifan lokal yang masih sangat relevan
dengan kondisi saat ini, dan seharusnya dilestarikan, diadaptasi atau bahkan
dikembangkan lebih jauh.
Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai budaya luhur
itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya.
Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti,
penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diketahui
bahwa pada tahun terakhir, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal
nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh, dan nampak sekadar pajangan
formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya pada umumnya dimanfaatkan
untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataaan tersebut mengakibatkan generasi penerus bangsa
cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal
sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan
kesejahtaraan bangsa. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan
kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Khusus kearifan lokal
Lampung adalah prinsip hidup “Piil Pesenggiri”. Hal ini disebabkan oleh adanya
penyimpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung
lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan
umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk
mendapatkan status kekuasaan dan menimbun harta dunia. Para elit ini biasanya
melakukan pencitraan ideal kearifan lokal di hadapan publik seolah membawa misi
kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya
justeru nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya tidak lebih hanya sekedar
alat untuk memperoleh dan mempertahan kekuasaan. Pada gilirannya, masyarakat
luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif
sederhana makin tersesat meneladani sikap dan perilaku elit mereka, juga makin
lelah menanti janji masa depan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan
kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap
kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal,
akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat
daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui
penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya
kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif
kearifan lokal, di mana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan
sejumlah nilai budaya luhur untuk sosialisasikan dan dikembangkan menjadi
prinsip hidup yang bermartabat. Misalnya nilai budaya “Nemui-Nyimah” sebagai
kehalusan budi diformulasi sebagai keramahtamahan yang tulus dalam pergaulan
hidup. Piil Pesenggiri sebagai prinsip hidup niscaya terhormat dan memiliki
harga diri diletakkan dalam upaya pengembangan prestasi, kreativitas dan
peranan yang bermanfaat bagi masyarakat, demikian juga dengan makna-makna
kearifan lokal nilai-nilai budaya lainnya. Kemudian pada gilirannya,
nilai-nilai budaya ini harus disebarluaskan dan dibumikan ke dalam seluruh
kehidupan masyarakat agar dapat menjadi jati diri masyarakat daerah. Keberadaan
Piil Pesenggiri merupakan aset (modal, kekayaan) budaya bangsa yang perlu
dilindungi dan dilestarikan untuk meningkatkan kesadaran jatidiri bangsa untuk
diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya
berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan
tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran
penawaran terhadap sumberdaya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral
dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan
pertumbuhan antagonis berbagai kepentingan hidup.
Sebagaimana contoh pada kehidupan masyarakat lokal, proses
kompromi budaya selalu memperhatikan elemen-elemen budaya lokal ketika
berhadapan dengan budaya-budaya yang baru. Elemen-elemen itu dipertimbangkan,
dipilah dan dipilih mana yang relevan dan mana pula yang bertentangan. Hasilnya
selalu menunjukkan wajah sebuah kompromi yang elegan, setiap elemen mendapatkan
tempat dan muncul dalam bentuknya yang baru sebagai sebuah kesatuan yang harmonis.
Tentu saja terbentuknya kesatuan yang harmonis itu tidak
lepas dari hasil kompromi keadilan yang menyentuh kepentingan berbagai pihak.
Kepentingan-kepentingan yang dimaksud sangat luas cakupannya, tetapi secara
garis besar meliputi berbagai permasalahan yang berhubungan dengan kelangsungan
hidup manusia, terutama yang bersifat primer dan praktis. Bagi pembuat
kebijakan harus mampu memilah dan memilih proses kompromi yang menguntungkan
semua pihak, kemudian menyikapi, menata, menindak¬lanjuti arah perubahan
kepetingan-kepentingan itu agar tetap dalam prinsip kebersarnaan. Kebudayaan
sebagai lumbung nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sebuah pedoman dalam
upaya rnerangkai berbagai kepentingan yang ada secara harmonis, tanpa ada pihak
yang dikorbankan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini perlu dikaji tentang
pengertian kearifan lokal piil pesenggiri dan implementasinya yang berkaitan
dengan regulasi penataan harmonisasi kehidupan masyarakat, dapat diakomodasikan
dengan baik dalam perencanaan, pelaksanaan pembangunan kesejehtaraan dan
keadilan sosial.
II. KEARIFAN LOKAL DAN IMPLENTASINYA DALAM KEHIDUPAN
MASYARAKAT
1. Pengertian Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan
seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian,
obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan ruang interaksi di mana
peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara
substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku
sehari-hari. Dengan kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan
memberdayakan potensi nilai-nilai luhur budaya setempat. Oleh karena itu,
kearifan lokal merupakan entitas yang sangat menentukan harkat dan martabat
manusia dalam komunitasnya (Geertz, 2007). Perilaku yang bersifat umum dan
berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi
nilai-nilai yang dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya.
Kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg
dalam suatu daerah (Gobyah, 2003). Kearifan lokal (local wisdom) dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak
dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang
tertentu (Ridwan, 2007).
2. Piil Pesenggiri dan Implentasinya
Bentuk kearifan lokal Lampung yang khas mengandung nilai
budaya luhur adalah Piil Pesenggiri. Piil Pesenggiri ini mengandung pandangan
hidup masyarakat yang diletakkan sebagai pedoman dalam tata pergaulan untuk
memelihara kerukunan, kesejahteraan dan keadilan. Piil Pesenggiri merupakan
harga diri yang berkaitan dengan perasaan kompetensi dan nilai pribadi, atau
merupakan perpaduan antara kepercayaan dan penghormatan diri. Seseorang yang
memiliki Piil Pesenggiri yang kuat, berarti mempunyai perasaan penuh keyakinan,
penuh tanggungjawab, kompeten dan sanggup mengatasi masalah-masalah kehidupan.
Etos dan semangat kelampungan (spirit of Lampung) piil
pesenggiri itu mendorong orang untuk bekerja keras, kreatif, cermat, dan
teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas
tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat
seseorang untuk sesuatu yang mulya di tengah-tengah masyarakat.
Unsur-unsur piil pesenggiri (prinsip kehormatan) selalu
berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan
nyappur, sakai dengan sambai. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna.
Juluk adek (terprogram, keberhasilan), nemui nyimah (prinsip ramah, terbuka dan
saling menghargai), nengah nyappur (prinsip suka bergaul, terjun dalam
masyarakat, kebersamaan, kesetaraan), dan sakai sambaian (prinsip kerjasama,
kebersamaan). Sementara itu bagi masyarakat adat Lampung Saibatin menempatkan
Piil Pesenggiri dalam beberapa unsur, yaitu: ghepot delom mufakat (prinsip
persatuan); tetengah tetanggah (prinsip persamaan); bupudak waya (prinsip
penghormatan); ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras); bupiil
bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan).
Unsur-unsur Piil Pesenggiri itu bukan sekedar prinsip
kosong, melainkan mempunyai nilai-nilai nasionalisme budaya yang luhur yang
perlu di dipahami dan diamalkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Sejatinya Piil Pesenggiri tidak diungkapkan melalui pemujaan diri sendiri
dengan mengorbankan orang lain atau dengan mengagungkan seseorang yang jauh
lebih unggul dari orang lain, atau menyengsarakan orang lain utk membahagiakan
seseorang. Seorang yang memiliki harga diri akan lebih bersemangat, lebih
mandiri, lebih mampu dan berdaya, sanggup menerima tantangan, lebih percaya
diri, tidak mudah menyerah dan putus asa, mudah memikul tanggung jawab, mampu
menghadapi kehidupan dengan lebih baik, dan merasa sejajar dengan orang lain.
Karakteristik orang yang memiliki harga diri yang tinggi
adalah kepribadian yang memiliki kesadaran untuk dapat membangkitkan
nilai-nilai positif kehormatan diri sendiri dan orang lain, yaitu sanggup
menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Hidup dengan penuh kesadaran berarti
mampu membangkitkan kondisi pikiran yang sesuai kenyataan yang dihadapi,
bertanggung jawab terhadap setiap perbuatan yang dilakukan. Arogansi dan
berlebihan dalam mengagungkan kemampuan diri sendiri merupakan gambaran tentang
rendahnya harga diri atau runtuhnya kehormatan seseorang (Abdul Syani, 2010:
http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
Secara ringkas unsur-unsur Piil Pesenggiri itu dapat
dijelaskan sebagai berikut:
a. Juluk-Adek
Secara etimologis Juluk-adek (gelar adat) terdiri dari kata
juluk dan adek, yang masing-masing mempunyai makna; Juluk adalah nama panggilan
keluarga seorang pria/wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau
remaja yang belum menikah, dan adek bermakna gelar/nama panggilan adat seorang
pria/wanita yang sudah menikah melalui prosesi pemberian gelar adat. Akan
tetapi panggilan ini berbeda dengan inai dan amai. Inai adalah nama panggilan
keluarga untuk seorang perempuan yang sudah menikah, yang diberikan oleh pihak
keluarga suami atau laki-laki. Sedangkan amai adalah nama panggilan keluarga
untuk seorang laki-laki yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.
Juluk-adek merupakan hak bagi anggota masyarakat Lampung,
oleh karena itu juluk-adek merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi
yang bersangkutan. Biasanya penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu
upacara adat sebagai media peresmiannya. Juluk adek ini biasanya mengikuti
tatanan yang telah ditetapkan berdasarkan hirarki status pribadi dalam struktur
kepemimpinan adat. Sebagai contoh; Pengiran, Dalom, Batin, Temunggung, Radin,
Minak, Kimas dst. Dalam hal ini masing-masing kebuwaian tidak selalu sama,
demikian pula urutannya tergantung pada adat yang berlaku pada kelompok
masyarakat yang bersangkutan.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi, maka seyogyanya
anggota masyarakat Lampung harus memelihara nama tersebut dengan sebaik-baiknya
dalam wujud prilaku pergaulan kemasyarakatan sehari-hari. Juluk-adek merupakan
asas identitas dan sebagai sumber motivasi bagi anggota masyarakat Lampung
untuk dapat menempatkan hak dan kewajibannya, kata dan perbuatannya dalam
setiap perilaku dan karyanya.
b. Nemui-Nyimah
Nemui berasal dari kata benda temui yang berarti tamu,
kemudian menjadi kata kerja nemui yang berarti mertamu atau
mengunjungi/silaturahmi. Nyimah berasal dari kata benda “simah”, kemudian
menjadi kata kerja “nyimah” yang berarti suka memberi (pemurah). Sedangkan
secara harfiah nemui-nyimah diartikan sebagai sikap santun, pemurah, terbuka
tangan, suka memberi dan menerima dalam arti material sesuai dengan kemampuan.
Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan untuk menciptakan suatu sikap
keakraban dan kerukunan serta silaturahmi. Nemui-nyimah merupakan kewajiban
bagi suatu keluarga dari masyarakat Lampung umumnya untuk tetap menjaga
silaturahmi, dimana ikatan keluarga secara genealogis selalu terpelihara dengan
prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran.
Pada hakekatnya nemui-nyimah dilandasi rasa keikhlasan dari
lubuk hati yang dalam untuk menciptakan kerukunan hidup berkeluarga dan
bermasyarakat. Dengan demikian, maka elemen budaya nemui-nyimah tidak dapat
diartikan keliru yang mengarah kepada sikap dan perbuatan tercela atau
terlarang yang tidak sesuai dengan norma kehidupan sosial yang berlaku.
Bentuk konkrit nemui nyimah dalam konteks kehidupan
masyarakat dewasa ini lebih tepat diterjemahkan sebagai sikap kepedulian sosial
dan rasa setiakawan. Suatu keluarga yang memiliki keperdulian terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, tentunya berpandangan luas ke depan dengan motivasi
kerja keras, jujur dan tidak merugikan orang lain.
c. Nengah-Nyappur
Nengah berasal dari kata benda, kemudian berubah menjadi
kata kerja yang berarti berada di tengah. Sedangkan nyappur berasal dari kata
benda cappur menjadi kata kerja nyappur yang berarti baur atau berbaur. Secara
harfiah dapat diartikan sebagai sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran
antar sesama. Nengah-nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat Lampung
mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul dan
bersahabat dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama, tingkatan, asal
usul dan golongan. Sikap suka bergaul dan bersahabat menumbuhkan semangat suka
bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi antar sesamanya. Sikap
toleransi akan menumbuhkan sikap ingin tahu, mau mendengarkan nasehat orang
lain, memacu semangat kreativitas dan tanggap terhadap perkembangan
gejala-gejala sosial. Oleh sebab itu dapat diambil suatu konklusi bahwa sikap
nengah-nyappur menunjuk kepada nilai musyawarah untuk mufakat. Sikap nengah
nyappur melambangkan sikap nalar yang baik, tertib dan seklaigus merupakan
embrio dari kesungguhan untuk meningkatkan pengetahuan serta sikap adaptif
terhadap perubahan. Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung yang
pluralistik, maka dapat dipahami bahwa penduduk daerah ini telah menjalankan
prinsip hidup nengah-nyappur secara wajar dan positif.
Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang
tinggi, sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran
demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan bentuk
kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih untuk mencapai
tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
Nengah-nyappur merupakan pencerminan dari asas musyawarah
untuk mufakat. Sebagai modal untuk bermusyawarah tentunya seseorang harus
mempunyai pengetahuan dan wawasan yang luas, sikap toleransi yang tinggi dan
melaksanakan segala keputusan dengan rasa penuh tanggung jawab. Dengan demikian
berarti masyarakat Lampung pada umumnya dituntut kemampuannya untuk dapat
menempatkan diri pada posisi yang wajar, yaitu dalam arti sopan dalam sikap
perbuatan dan santun dalam tutur kata. Makna yang lebih dalam adalah harus siap
mendengarkan, menganalisis, dan harus siap menyampaikan informasi dengan tertib
dan bermakna.
d. Sakai-Sambaiyan
Sakai bermakna memberikan sesuatu kepada seseorang atau
sekelompok orang dalam bentuk benda dan jasa yang bernilai ekonomis yang dalam
prakteknya cenderung menghendaki saling berbalas. Sedangkan sambaiyan bermakna
memberikan sesuatu kepada seseorang, sekelompok orang atau untuk kepentingan
umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa mengharapkan balasan.
Sakai sambaiyan berarti tolong menolong dan gotong royong,
artinya memahami makna kebersamaan atau guyub. Sakai-sambayan pada hakekatnya
adalah menunjukkan rasa partisipasi serta solidaritas yang tinggi terhadap
berbagai kegiatan pribadi dan sosial kemasyarakatan pada umumnya.
Sebagai masyarakat Lampung akan merasa kurang terpandang
bila ia tidak mampu berpartisipasi dalam suatu kegiatan kemasyarakatan.
Perilaku ini menggambarkan sikap toleransi kebersamaan, sehingga seseorang akan
memberikan apa saja secara suka rela apabila pemberian itu memiliki nilai
manfaat bagi orang atau anggota masyarakat lain yang membutuhkan. Sakai
sembayan senantiasa menjaga sikap kebersamaan, termasuk di dalamnya sikap
saling tolong menolong, terutama terhadap kaum yang lemah dalam pengertian
menyeluruh, baik lahir maupun batin.
Ternyata bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri,
di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi
Kitabullah, Banten ada kiyai dan jawara, di Madura ada carok, di Bugis ada
syiri.
Di Jawa, lebih banyak lagi ragam nilai-nilai budaya yang
senantiasa dijadikan pedoman hidup; ada 2 (dua) pedoman hidup orang jawa yang
populer dari sekitar 10 (sepuluh) lebih yang ada, yaitu:
1. tri ojo (ojo kagetan/jangan gampang kaget/tawaqkal, ojo gumunan/jangan
mudah eran/arif/bijak, dan ojo dumeh/jangan mentang2/rendah hati).
2. sugih tampo bondo (kaya tanpa didasari kebendaan), digdoyo/sekti tanpo aji
(berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan), ngluruk tampo bolo
(berjuangan tanpa perlu membawa massa), dan menang tampo ngasorake (menang
tanpa mempermalukan/merendahkan yang lain).
Oleh karena itu, maka para aparat pemerintah tidak boleh
pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji),
jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan
jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake). Konsep ini dirumuskan
para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa rakyat. Karena itu,
rakyat tidak boleh disakiti. Tetapi kenyataannya banyak rakyat ditekan
sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, atau protes atas
kebijakan yang sepihak.
Di pihak lain ada budaya pepe dalam kehidupan masyarakat
jawa, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur
dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti
akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia
menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk
pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni
Srengenge (jangan meludahi mata hari).
Karena itu apa yang dimaksud kebudayaan secara ideal pasti
berkaitan dengan cita-cita hidup, sikap mental, semangat tertentu seperti
semangat belajar, ethos kerja, motif ekonomi, politik dan hasrat-hasrat
tertentu dalam membangun jaringan organisasi, komunikasi dan pendidikan dalam
semua bidang kehidupan. Kebudayaan merupakan jaringan kompleks dari
symbol-ssimbol dengan maknanya yang dibangun masyarakat dalam sejarah suatu
komunitas yang disebut etnik atau bangsa.
Dengan cara pandang seperti itu, dapat dipahami mengapa negara dituntut
memenuhi kewajibannya untuk merawat, memelihara, mengembangkan dan menghidupkan
kebudayaan yang telah ada dalam sejarah masyarakat. Pemeliharan dan
pengembangan itu diimplementasikan dalam pendidikan formal dan non-formal,
dalam bentuk kebijakan-kebijakan, serta bantuan keuangan, sarana dan prasarana,
serta dalam bentuk jaminan hukum dan politik agar kebudayaan berkembang dan
selalu tumbuh dengan sehat.
Dalam prakteknya kearifan lokal itu harus memiliki keinginan yang membumi untuk
memerangi semua bentuk penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar
HAM. Artinya, harus berusaha mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari
kehancuran akibat korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Perilaku korupsi,
menggelapkan uang negara, memanfaatkan segala fasilitas dalam lingkup
kekuasaannya demi memperkaya diri, berprilaku sewenang-wenang dalam menjalankan
roda kekuasaan, tidak menghormati harkat dan martabat orang lain contohnya
gemar menerima sogokan, dan bentuk-bentuk kecurangan lainnya.
III. SIMPULAN
Keanekaragaman nilai sosial budaya masyarakat yang terkandung di dalam kearifan
lokal itu umumnya bersifat verbal dan tidak sepenuhnya terdokumentasi dengan
baik. Di samping itu ada norma-norma sosial, baik yang bersifat anjuran,
larangan, maupun persyaratan adat yang ditetapkan untuk aktivitas tertentu yang
perlu dikaji lebih jauh. Dalam hal ini perlu dikembangkan suatu bentuk
knowledge management terhadap berbagai jenis kearifan lokal tersebut agar dapat
digunakan sebagai acuan dalam proses perencanaan, pembinaan dan pembangunan
kesejahteraan masyarakat secara berkesinambungan.
Modal dasar bagi segenap elit dan segenap agen pembaharu
bangsa adalah perlu adanya ketulusan untuk mengakui kelemahan, ikhlas membuang
egoisme, keserakahan, bersedia menggali kekuatan nilai-nilai budaya yang ada
pada kelompok masyarakat daerah masing-masing, dan bersedia berbagi dengan
pihak lain sebagai entitas dari bangsa yang sama. Para elit di berbagai
tingkatan harus mampu menjadi garda depan, bukan sekedar bisa berbicara dalam
janji, tapi harus mampu memberikan bukti tindakan nyata dalam bentuk
keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Harapannya adalah untuk menyatukan
gerak langkah antara satu sama lain, masyarakat bersama-sama menggali sumber
kehidupan secara arif dan bijak, sehingga ada jalan menuju kehidupan yang lebih
baik, damai, adil dan sejahtera.
Upaya yang perlu dilakukan adalah menguak makna substantif
nilai-nilai kearifan lokal. Keterbukaan dikembangkan menjadi kejujuran dalarn
setiap aktualisasi pergaulan, pekerjaan dan pembangunan, beserta nilai-nilai
budaya lain yang menyertainya. Budi pekerti dan norma kesopanan diformulasi
sebagai keramahtamahan yang tulus. Harga diri diletakkan dalam upaya
pengembangan prestasi, bukan untuk membangun kesombongan. Ketulusan, memang
perlu dijadikan modal dasar bagi segenap unsur bangsa. Ketulusan untuk mengakui
kelemahan diri masing-masing, dan ketulusan untuk membuang egoisme,
keserakahan, serta mau berbagi dengan yang lain sebagai entitas dari bangsa
yang sama. Dari ketulusan, seluruh elemen bangsa yang majernuk masing-masing
merajut kebhinnekaan, kemudian menjadikannya sebagai semangat nasionalisme yang
kokoh. Pada saat yang sama, hasil rekonstruksi ini perlu dibumikan dan
disebarluaskan ke dalam seluruh masyarakat sehingga menjadi identitas kokoh
bangsa, bukan sekadar menjadi identitas suku atau masyarakat tertentu.
Kemudian diperlukan proses pelembagaan yang harus dikembangkan
agar proses pembangunan nasional dapat melahirkan keseimbangan, pemerataan dan
pertumbuhan ekonomi, memberi keleluasaan terhadap partisipasi masyarakat,
mendukung proses komunikasi dan membuka ruang publik, mendorong munculnya
pernerintah yang terorganisasi dengan baik dan sangat responsif, serta
mempercepat lahirnya elit yang matang dan fleksibel dalam berpolitik.
SUMBER
Abdul Syani, 2010. (http://blog.unila.ac.id/abdulsyani/).
_________, 2012. Nilai Nilai Budaya Bangsa dan Kearifan Lokal. Seminar dalam
Kegiatan Diklat Bidik Misi Di Universitas Lampung tanggal 05 Mei 2012
Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.
Gobyah, I. Ketut (2003) ‘Berpijak Pada Kearifan lokal’, www.balipos.co.id.
Ridwan, N. A. (2007) ‘Landasan Keilmuan Kearifan Lokal’, IBDA, Vol. 5, No. 1,
Jan-Juni 2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.
Nama : Asep Solehudin
NPM : 1B114278
Kelas : 4KA51